enjoy here

enjoy here

Rabu, 30 Oktober 2013

MASA DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA

INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
( 1950-1959 )
1. PENGERTIAN DEMOKRASI
Kata Demokrasi berasal dari Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan kratos, yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi demokrasi ialah rakyat yang berkuasa.
Setelah Perang Dunia ke-II, secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Di antara semakin banyak aliran pemikiran yang menamakan dirinya sebagai demokrasi, ada dua aliran penting, yaitu demokrasi konstitusional dan kelompok yang mengatasnamakan dirinya “demokrasi” namun pada dasarnya menyandarkan dirinya pada komunisme.
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan. Dan mengenai sifat dan cirinya masih terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan. Pada perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi pancasila, Indonesia mengalami tiga periodeisasi penerapan demokrasi, yaitu:
1. Demokrasi Liberal ( 1950-1959 )
2. Demokrasi Terpimpin ( 1959-1966 )
3. Demokrasi Pancasila ( 1966-sekarang )
2. MASA DEMOKRASI LIBERAL ( 1950-1959 )
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai ( kabinet formatur ). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang ( umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah :
a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e. Kabinet Burhanudin Harahap
f. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan. Mosi yang diajukan untuk menjatuhkan kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan rakyat.
Sementara para elit politik sibung dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian yang menimbulkan labilnya sosial-ekonomi. Adapun gangguan-gangguan keamanan tersebut antara lain :
a. Pemberontakan Kahar Muzakar
Kahar Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang kemerdekaan berjuang di Jawa. Setelah kembali ke Sulawesi bergabung dengan Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan pada tahun 1950 menuntut agar pasukannya masuk APRIS. Tuntutannya ditolak tetapi kepada anggotanya yang memenuhi syarat diperbolehkan masuk, sedangkan sisanya dimasukkan ke dalam Corps Cadangan Nasional. Kahar akan diberikan pangkat letkol, tetapi saat pelantikan, tanggal 17 Agustus 1951, ia bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dan mengacau. Januari 1952 menyatakan diri ikut sebagai bagian anggota Kartosuwiryo. Selama empat belas tahun memberontak, namun akhirnya berhasi dilumpuhkan setelah salah seorang anak buahnya, yaitu Bahar Matiliu menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak oleh pasukan Divisi Siliwangi pada bulan Februari 1965.
b. Pemberontakan di Jawa Tengah
Pengaruh DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan yang dihadapi pemerintah dengan operasi-operasi militer. Di Kebumen pemberontakan dilakukan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) di bawah pimpinan Kyai Somalangu, yang setelah intinya dapat ditumpas, sisanya bergabung dengan DI/TII. Di lingkunganAngkatan Darat juga terjadi perembesan pemberontakan ini, sehingga Batalyon 426 di Kudus dan Magelang juga memberontak dan bergabung dengan DI/TII (Desember 1951). Sebagian dari mereka mengadakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC). Untuk menghadapi mereka, pemerintah membentuk pasukan khusus yang diberi namaBanteng Raiders. Juni 1954 kekuatan mereka bisa dipatahkan.
c. Pemberontakan di Aceh
Pengikut DI di Aceh memproklamirkan daerahnya sebagai bagian dari NII pada tanggal 20 September 1953. Pemimpinnya adalah Daud Beureueh, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang pernah menjabat gubernur Militer Daerah Aceh tahun 1947. Pada mulanya mereka dapat menguasai sebagian besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya. Setelah pemerintah mengadakan operasi, mereka menyingkir ke hutan. Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kol. M. Jasin mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berhasil mengembalikan Daud Beureueh ke masyarakat (Desember 1962).
d. Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan Darat. Kol. Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kol. A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada Mentri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada parlemen berisi soal tersebut dan meminta agar Kol. A.H. Nasution diganti. Manai Sophian selaku anggota parlemen mengajukan mosi agar pemerintah segera membentuk panitia untuk mempelajari masalahnya dan mengajukan pemecahannya. Hal ini dianggap usaha campur tangan parlemen terhadap tubuh Angkatan Darat. Pimpinan AD mendesak kepada Presiden untuk membubarkan Parlemen. Desakan ini jugas dilakukan oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi ke gedung parlemen dan Istana Merdeka. Presiden menolak tuntutan ini dewngan alasan tidak ingin menjadi seorang diktator, tetapi akan berusaha segera mempercepat pemilu. Kol. A.H. Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti oleh Mayjen T.B. Simatupang. Jabatan ini akhirnya digantikan oleh Kol. Bambang Sugeng.
e. Peristiwa 27 Juni 1955
Peristiwa ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena dianggap bahwa pemerintah belum mampu menyelesaiakan persolan tersebut. Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara belum terpilih KSAD yang baru, pimpinan KSAD dipegang oleh Wakil KSAD yaitu Kol. Zulkifli Lubis. Kemudian pemerintah mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru, tetapi pada saat pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada satupun perwira AD yang hadir. Peristiwa ini menyebabkan kabinet Ali-Wongso jatuh. Kemudian pada masa Kabinet Burhanudin Harahap, bekas KSAD yang lama, yaitu Kol. A.H. Nasution, kembali diangkat menjadi KSAD (7 November 1955). Peristiwa di Angkatan Perang yang bersifat liberal juga terjadi pada tanggal 14 Desember 1955. Yaitu ketika Komodor Udara Hubertus Suyono dilantik menjadi Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara Cililitan (Halim Perdanakusuma), segerombolan prajurit pasukan kehormatan maju dan menolak pelantikan tersebut. Kemudian mereka meninggalkan barisdan diikuti oleh pasukan pembawa panji-panji Angkatan Udara, sehingga upacara batal.
f. Dewan-dewan Daerah
Diawali dengan pembentukan Bewan Banteng oleh Kol (pensiun) Ismail Lengah di Padang (20 November 1956), dengan ketuanya Ahmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara Teritorium (TT) I di Padang. Mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat tentang otonomi daerah. Larangan KSAD agar tentara tidak berpolitik tidak dihiraukan. Mereka malah mengambil alaih pemerintahan daerah Sumatra Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyodiharjo (20 Desember 1956).
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra Selatan (Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol. H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini dilatarbelakangi oleh karena pembangunan yang tidak merata, padahal daerah-daerah tersebut telah memberikan devisa bagi negara.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan perundingan dan janji pemerataan pembangunan. Namun usaha tersebut tidak berhasil. Akhirnya operasi militerpun dilancarkan (17 Desember 1957).
g. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara
Rasa tidak puas golongan ekstrim kanan memuncak dan dilampiaskan dalam bentuk usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini Jakarta (30 November 1957). Usaha tersebut gagal, tetapi menimbulkan banyak korban. Para pelaku dapat ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati.
Usaha kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana Jakarta. Kemudian terjadi lagi. Pelakunya Letnan Udara II D.A. Maukar dengan mempergunakan pesawat Mig 17. Istana Merdeka dan Bogor ditembakinya dari udara (9 Maret 1960). Dilakukan Maukar bersama kelompoknya, Manguni, dengan tujuan agar pemerintah mau berunding dengan PRRI dan Permesta. Usaha tersebut sia-sia.
h. Pemberontakan PRRI dan Permesta
Akhmad Husein, beserta para tokoh Masyumi dan dewan daerah mengadakan rapat di Sungai Dareh, Sumatra Barat (9 Januari 1958). Keesokan harinya pada saat rapat akbar di Padang, Akhmad Husein mengultimatum pemerintah agar Kabinet Juanda dalam waktu 5×24 jam menyerahkan mandat kepada Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX agar membentuk zaken kabinet dan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional. Ultimatum tersebut ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dengan Syafrudin Prawiranegara sebaga Perdana Mentri (15 Februari 1958). Hal tersebut diikuti oleh Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letkol D.J. Somba yang membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semerta (Permesta). Pemberontakan ini ditumpas dengaan operasi militer selama beberapa tahun.
Selain gangguan keamanan, kesulitan juga dialami oleh Pemerintah dalam beberapa bidang. Sehingga pada akhir Demokrasi Liberal terasa terjadi kemunduran. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain dalam bidang:
a. Politik
Politik sebagai Panglima merupakan semboyan partai-partai pada umumnya, sehingga berlomba-lombalah para partai politik untuk memperebutkan posisi panglima ini. Lembaga seperti DPR dan Konstituante hasil PEMILU merupakan forum utama politik, sehingga persoalan ekonomi kurang mendapat perhatian.
Pemilihan umum merupakan salah satu program beberapa kabinet, tetapi karena umur kabinet pada umumnya singkat program itu sulit dilakukan. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, pemerintah berusaha keras untuk melaksanakannya. Dalam suasana liberal, PEMILU diikuti oleh puluha partai, organisasi maupun perorangan. Anggota ABRI pun ikut serta sebagai pemilih.
Pada tanggal 15 Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang dan tertib. Ada empat partai yang memenangkan Pemilu, yaitu Masyumi, PNI, Nahdatul Ulama, dan PKI.
Namun pada prakteknya, kedua lembaga (DPR dan Konstituante) tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. DPR tetap sebagai tempat perebutan pengaruh dan kursi pemerintahan, sedangkan konstituante setelah lebih dari dua tahun belum juga dapat menghasilkan UUD baru untuk menggantikan UUDS.
Politik Luar Negeri Indonesia semakin mantap setelah diterima sebagai anggota PBB ke-60 (27 Desember 1950). Cara-cara damai yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Belanda tentang Irian Jaya ( Papua ) tidak memperoleh penyelesaian yang memuaskan, seperti telah tercantum dalam persetujuan KMB, sehingga secara sepihak Pemerintah Indonesia membatalkan perjanjian tersebut dengan UU No. 13 Tahun 1956. Sumbangan positif Indonesia dalam dunia Internasional adalah dikirimkannya tentara Indonesia dalam United Nations Amergency Forces (UNEF) untuk menjaga perdamaian di Timur Tengah. Pasukan ini diberi nama Garuda I dan diberangkatkan Januari 1957.
b. Ekonomi
Untuk menyehatkan perekonomian, dilakukan penyehatan keuangan dengan mengadakan sanering yang dikenal dengan Gunting Syafrudin (19 Maret 1950). Uang Rp. 5,00 ke atas dinyatakan hanya bernilai setengahnya, sedangkan setengahnya lagi merupakan obligasi. Bari tindakan tersebut Pemerintah dapat menarik peredaran uang sebanyak Rp. 1,5 milyar untuk menekan inflasi.
Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang Bukti Eksport (BE) untuk mengimbangi import. Eksportir yang telah mengeksport kemudian memperoleh BE yang dapat diperjualbelikan. Harga BE meningkat, sehingga pemerintah membatasinya sampai 32,5%. Karena ternyats BE tidak berhasil meningkatkan perekonomian, akhirnya peraturan tersebut dihapuskan (1959).
Pemerintah kemudian membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang bertugas menyusun rencana pembangunan Nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur (1959). Tetapi peningkatan belum juga terjadi, karena labilnya politik dan inflasi yang mengganas. Pemerintah juga cenderung bersikap konsumtif. Jaminan emas menurun , sehingga rupiah merosot.
c. Sosial
Partai Politik menggalakkan masyarakat dengan membentuk organisasi massa (ormas), khususnya dalam menghadapi Pemilu tahun 1955. Keadaan sosial-ekonomi yang kian merosot menguntungkan partai-partai kiri yang tidak duduk dalam pemerintahan karena dapat menguasai massa. PKI makin berkembang, dalam Pemilu tahun 1955 dapat merupakan salah satu dari empat besar dan kegiatannya ditingkatkan yang mengarah pada perebutan kekuasaan (1965).
d. Budaya
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, Pemerintah dianggap berhasil dalam bidang budaya ini. Untuk mencukupi tenaga terdidik dari perguruan tinggi, Pemerintah membuka banyak universitas yang disebarkan di daerah.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini berhasilmemperoleh piala tersebut (Juni 1958). Selain itu juga Indonesia berhasil menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Karena wilayah Indonesia berupa kepualauan, maka Pemerintah mengubah peraturan dari pemerintah kolonial Belanda, yaitu Peraturan Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, yang menyebutkan wilayah teritorial Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut diukur dari garis rendah pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan wilayah daratannya. Peraturan ini dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia. Karena itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yang juga disebut sebagai Deklarasi Juanda tentang Wilayah Perairan Indonesia.
Indonesia juga membuat peraturan tentang landas kontinen, yaitu peraturan tentang batas wilayah perairan yang boleh diambil kekayaannya. Peraturan ini tertuang dalam Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen tanggal 17 Februari 1969. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian dengan negara-negara tetangga tentang batas-batas Landas Kontinen agar kelak tidak terjadi ke salah pahaman.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment Here :)