INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
( 1950-1959 )
1. PENGERTIAN DEMOKRASI
Kata Demokrasi berasal dari Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat,
dan kratos, yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi demokrasi
ialah rakyat yang berkuasa.
Setelah Perang Dunia ke-II, secara formal demokrasi merupakan dasar dari
kebanyakan negara di dunia. Di antara semakin banyak aliran pemikiran
yang menamakan dirinya sebagai demokrasi, ada dua aliran penting, yaitu
demokrasi konstitusional dan kelompok yang mengatasnamakan dirinya
“demokrasi” namun pada dasarnya menyandarkan dirinya pada komunisme.
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan
Pancasila, masih dalam taraf perkembangan. Dan mengenai sifat dan
cirinya masih terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan. Pada
perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi pancasila, Indonesia
mengalami tiga periodeisasi penerapan demokrasi, yaitu:
1. Demokrasi Liberal ( 1950-1959 )
2. Demokrasi Terpimpin ( 1959-1966 )
3. Demokrasi Pancasila ( 1966-sekarang )
2. MASA DEMOKRASI LIBERAL ( 1950-1959 )
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang
Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh
kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada
parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota
parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal
ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada
partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung
oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai (
kabinet formatur ). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai
pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami
krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang ( umumnya ketua partai
) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya,
maka kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen,
dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada
sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak
percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun
(1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya
berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi
Parlementer adalah :
a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e. Kabinet Burhanudin Harahap
f. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan. Mosi yang
diajukan untuk menjatuhkan kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan
partai daripada menyelamatkan rakyat.
Sementara para elit politik sibung dengan kursi kekuasaan, rakyat
mengalami kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan
beratnya perekonomian yang menimbulkan labilnya sosial-ekonomi. Adapun
gangguan-gangguan keamanan tersebut antara lain :
a. Pemberontakan Kahar Muzakar
Kahar Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang kemerdekaan
berjuang di Jawa. Setelah kembali ke Sulawesi bergabung dengan Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan pada tahun 1950 menuntut agar
pasukannya masuk APRIS. Tuntutannya ditolak tetapi kepada anggotanya
yang memenuhi syarat diperbolehkan masuk, sedangkan sisanya dimasukkan
ke dalam Corps Cadangan Nasional. Kahar akan diberikan pangkat letkol,
tetapi saat pelantikan, tanggal 17 Agustus 1951, ia bersama anak buahnya
melarikan diri ke hutan dan mengacau. Januari 1952 menyatakan diri ikut
sebagai bagian anggota Kartosuwiryo. Selama empat belas tahun
memberontak, namun akhirnya berhasi dilumpuhkan setelah salah seorang
anak buahnya, yaitu Bahar Matiliu menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak
oleh pasukan Divisi Siliwangi pada bulan Februari 1965.
b. Pemberontakan di Jawa Tengah
Pengaruh DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes, Tegal, dan
Pekalongan yang dihadapi pemerintah dengan operasi-operasi militer. Di
Kebumen pemberontakan dilakukan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) di bawah
pimpinan Kyai Somalangu, yang setelah intinya dapat ditumpas, sisanya
bergabung dengan DI/TII. Di lingkunganAngkatan Darat juga terjadi
perembesan pemberontakan ini, sehingga Batalyon 426 di Kudus dan
Magelang juga memberontak dan bergabung dengan DI/TII (Desember 1951).
Sebagian dari mereka mengadakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC).
Untuk menghadapi mereka, pemerintah membentuk pasukan khusus yang
diberi namaBanteng Raiders. Juni 1954 kekuatan mereka bisa dipatahkan.
c. Pemberontakan di Aceh
Pengikut DI di Aceh memproklamirkan daerahnya sebagai bagian dari NII
pada tanggal 20 September 1953. Pemimpinnya adalah Daud Beureueh,
seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang pernah menjabat gubernur
Militer Daerah Aceh tahun 1947. Pada mulanya mereka dapat menguasai
sebagian besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya. Setelah pemerintah
mengadakan operasi, mereka menyingkir ke hutan. Panglima Kodam
I/Iskandar Muda, Kol. M. Jasin mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah
Kerukunan Rakyat Aceh yang berhasil mengembalikan Daud Beureueh ke
masyarakat (Desember 1962).
d. Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan
Angkatan Darat. Kol. Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kol.
A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada Mentri Pertahanan
dan Presiden dengan tembusan kepada parlemen berisi soal tersebut dan
meminta agar Kol. A.H. Nasution diganti. Manai Sophian selaku anggota
parlemen mengajukan mosi agar pemerintah segera membentuk panitia untuk
mempelajari masalahnya dan mengajukan pemecahannya. Hal ini dianggap
usaha campur tangan parlemen terhadap tubuh Angkatan Darat. Pimpinan AD
mendesak kepada Presiden untuk membubarkan Parlemen. Desakan ini jugas
dilakukan oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi ke gedung parlemen
dan Istana Merdeka. Presiden menolak tuntutan ini dewngan alasan tidak
ingin menjadi seorang diktator, tetapi akan berusaha segera mempercepat
pemilu. Kol. A.H. Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti oleh
Mayjen T.B. Simatupang. Jabatan ini akhirnya digantikan oleh Kol.
Bambang Sugeng.
e. Peristiwa 27 Juni 1955
Peristiwa ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena dianggap
bahwa pemerintah belum mampu menyelesaiakan persolan tersebut. Bambang
Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara belum terpilih KSAD
yang baru, pimpinan KSAD dipegang oleh Wakil KSAD yaitu Kol. Zulkifli
Lubis. Kemudian pemerintah mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD
yang baru, tetapi pada saat pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada
satupun perwira AD yang hadir. Peristiwa ini menyebabkan kabinet
Ali-Wongso jatuh. Kemudian pada masa Kabinet Burhanudin Harahap, bekas
KSAD yang lama, yaitu Kol. A.H. Nasution, kembali diangkat menjadi KSAD
(7 November 1955). Peristiwa di Angkatan Perang yang bersifat liberal
juga terjadi pada tanggal 14 Desember 1955. Yaitu ketika Komodor Udara
Hubertus Suyono dilantik menjadi Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara
Cililitan (Halim Perdanakusuma), segerombolan prajurit pasukan
kehormatan maju dan menolak pelantikan tersebut. Kemudian mereka
meninggalkan barisdan diikuti oleh pasukan pembawa panji-panji Angkatan
Udara, sehingga upacara batal.
f. Dewan-dewan Daerah
Diawali dengan pembentukan Bewan Banteng oleh Kol (pensiun) Ismail
Lengah di Padang (20 November 1956), dengan ketuanya Ahmad Husein,
Komandan Resimen IV Tentara Teritorium (TT) I di Padang. Mereka
mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat tentang otonomi daerah.
Larangan KSAD agar tentara tidak berpolitik tidak dihiraukan. Mereka
malah mengambil alaih pemerintahan daerah Sumatra Tengah dari Gubernur
Ruslan Mulyodiharjo (20 Desember 1956).
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan
Dewan Gajah di Sumatra Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra
Selatan (Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol.
H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini dilatarbelakangi oleh karena
pembangunan yang tidak merata, padahal daerah-daerah tersebut telah
memberikan devisa bagi negara.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan
perundingan dan janji pemerataan pembangunan. Namun usaha tersebut tidak
berhasil. Akhirnya operasi militerpun dilancarkan (17 Desember 1957).
g. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara
Rasa tidak puas golongan ekstrim kanan memuncak dan dilampiaskan dalam
bentuk usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini
Jakarta (30 November 1957). Usaha tersebut gagal, tetapi menimbulkan
banyak korban. Para pelaku dapat ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati.
Usaha kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana Jakarta.
Kemudian terjadi lagi. Pelakunya Letnan Udara II D.A. Maukar dengan
mempergunakan pesawat Mig 17. Istana Merdeka dan Bogor ditembakinya dari
udara (9 Maret 1960). Dilakukan Maukar bersama kelompoknya, Manguni,
dengan tujuan agar pemerintah mau berunding dengan PRRI dan Permesta.
Usaha tersebut sia-sia.
h. Pemberontakan PRRI dan Permesta
Akhmad Husein, beserta para tokoh Masyumi dan dewan daerah mengadakan
rapat di Sungai Dareh, Sumatra Barat (9 Januari 1958). Keesokan harinya
pada saat rapat akbar di Padang, Akhmad Husein mengultimatum pemerintah
agar Kabinet Juanda dalam waktu 5×24 jam menyerahkan mandat kepada Drs.
Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX agar membentuk zaken kabinet
dan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional. Ultimatum
tersebut ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya Husein membentuk Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya
dengan Syafrudin Prawiranegara sebaga Perdana Mentri (15 Februari 1958).
Hal tersebut diikuti oleh Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letkol D.J.
Somba yang membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semerta (Permesta).
Pemberontakan ini ditumpas dengaan operasi militer selama beberapa
tahun.
Selain gangguan keamanan, kesulitan juga dialami oleh Pemerintah dalam
beberapa bidang. Sehingga pada akhir Demokrasi Liberal terasa terjadi
kemunduran. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain dalam bidang:
a. Politik
Politik sebagai Panglima merupakan semboyan partai-partai pada umumnya,
sehingga berlomba-lombalah para partai politik untuk memperebutkan
posisi panglima ini. Lembaga seperti DPR dan Konstituante hasil PEMILU
merupakan forum utama politik, sehingga persoalan ekonomi kurang
mendapat perhatian.
Pemilihan umum merupakan salah satu program beberapa kabinet, tetapi
karena umur kabinet pada umumnya singkat program itu sulit dilakukan.
Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, pemerintah berusaha keras untuk
melaksanakannya. Dalam suasana liberal, PEMILU diikuti oleh puluha
partai, organisasi maupun perorangan. Anggota ABRI pun ikut serta
sebagai pemilih.
Pada tanggal 15 Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang dan
tertib. Ada empat partai yang memenangkan Pemilu, yaitu Masyumi, PNI,
Nahdatul Ulama, dan PKI.
Namun pada prakteknya, kedua lembaga (DPR dan Konstituante) tidak
memberikan hasil seperti yang diharapkan. DPR tetap sebagai tempat
perebutan pengaruh dan kursi pemerintahan, sedangkan konstituante
setelah lebih dari dua tahun belum juga dapat menghasilkan UUD baru
untuk menggantikan UUDS.
Politik Luar Negeri Indonesia semakin mantap setelah diterima sebagai
anggota PBB ke-60 (27 Desember 1950). Cara-cara damai yang dilakukan
pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Belanda tentang Irian Jaya (
Papua ) tidak memperoleh penyelesaian yang memuaskan, seperti telah
tercantum dalam persetujuan KMB, sehingga secara sepihak Pemerintah
Indonesia membatalkan perjanjian tersebut dengan UU No. 13 Tahun 1956.
Sumbangan positif Indonesia dalam dunia Internasional adalah
dikirimkannya tentara Indonesia dalam United Nations Amergency Forces
(UNEF) untuk menjaga perdamaian di Timur Tengah. Pasukan ini diberi nama
Garuda I dan diberangkatkan Januari 1957.
b. Ekonomi
Untuk menyehatkan perekonomian, dilakukan penyehatan keuangan dengan
mengadakan sanering yang dikenal dengan Gunting Syafrudin (19 Maret
1950). Uang Rp. 5,00 ke atas dinyatakan hanya bernilai setengahnya,
sedangkan setengahnya lagi merupakan obligasi. Bari tindakan tersebut
Pemerintah dapat menarik peredaran uang sebanyak Rp. 1,5 milyar untuk
menekan inflasi.
Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang Bukti Eksport (BE) untuk
mengimbangi import. Eksportir yang telah mengeksport kemudian memperoleh
BE yang dapat diperjualbelikan. Harga BE meningkat, sehingga pemerintah
membatasinya sampai 32,5%. Karena ternyats BE tidak berhasil
meningkatkan perekonomian, akhirnya peraturan tersebut dihapuskan
(1959).
Pemerintah kemudian membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang
bertugas menyusun rencana pembangunan Nasional untuk mencapai masyarakat
yang adil dan makmur (1959). Tetapi peningkatan belum juga terjadi,
karena labilnya politik dan inflasi yang mengganas. Pemerintah juga
cenderung bersikap konsumtif. Jaminan emas menurun , sehingga rupiah
merosot.
c. Sosial
Partai Politik menggalakkan masyarakat dengan membentuk organisasi massa
(ormas), khususnya dalam menghadapi Pemilu tahun 1955. Keadaan
sosial-ekonomi yang kian merosot menguntungkan partai-partai kiri yang
tidak duduk dalam pemerintahan karena dapat menguasai massa. PKI makin
berkembang, dalam Pemilu tahun 1955 dapat merupakan salah satu dari
empat besar dan kegiatannya ditingkatkan yang mengarah pada perebutan
kekuasaan (1965).
d. Budaya
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, Pemerintah dianggap berhasil
dalam bidang budaya ini. Untuk mencukupi tenaga terdidik dari perguruan
tinggi, Pemerintah membuka banyak universitas yang disebarkan di daerah.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala
Thomas (Thomas Cup) Indonesia yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan
ini berhasilmemperoleh piala tersebut (Juni 1958). Selain itu juga
Indonesia berhasil menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Karena wilayah Indonesia berupa kepualauan, maka Pemerintah mengubah
peraturan dari pemerintah kolonial Belanda, yaitu Peraturan Wilayah Laut
dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, yang menyebutkan wilayah teritorial
Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut diukur dari garis rendah
pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan wilayah daratannya.
Peraturan ini dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia. Karena itu
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yang juga
disebut sebagai Deklarasi Juanda tentang Wilayah Perairan Indonesia.
Indonesia juga membuat peraturan tentang landas kontinen, yaitu
peraturan tentang batas wilayah perairan yang boleh diambil kekayaannya.
Peraturan ini tertuang dalam Pengumuman Pemerintah tentang Landas
Kontinen tanggal 17 Februari 1969. Pemerintah Indonesia mengadakan
perjanjian dengan negara-negara tetangga tentang batas-batas Landas
Kontinen agar kelak tidak terjadi ke salah pahaman.